Semalam, langitnya bersih dan jarum jam
baru melewati pukul sembilan ketika sebuah pesan mampir di ponsel. Pesan
dari seorang adik angkatan yang selisih beberapa tahun usianya
denganku, dengan barisan kalimat yang singkat, padat dan jelas: Seorang
adik angkatan, temannya, sedang menangis di ujung desa, di bendungan
besar ke arah bukit sana.
Firasatku
menggiring bibir tersenyum dan menggumam berkata: Ini tak lain pasti
urusan cinta orang muda. Ya, seperti film lawas itu: Yang Muda Yang
Bercinta.
Aku pun menghubungi
sobat dekat, yang selepas maghrib sempat mengajakku mencicipi segelas
kopi pelepas hari, tanpa merinci banyak hal selain, "Bro... adik leting
awak sedang susah itu. Ke irigasi kita 'bentar?"
Tapi
beliau yang baru sembuh dari demam, dengan permintaan maaf, meminta
izin untuk tidak bisa mengawankan serta ke sana. Badanku sendiri
agak-agak kurang sehat, masih dalam tahap penyembuhan selepas disikat
demam, konon kualat karena mengejek sobatku itu saat demam seminggu yang
lalu. Maka, dengan badan masih suam-suam kuku, dihembus angin malam
yang sejuk laknat dari arah bukit merapat-rapat di kawasan bendungan,
kukira bukan suatu hal yang nikmat.
Namun,
apapun juga... ketika ada orang muda yang sedang bimbang, dan kau
berada di posisiku, maka terkadang kau harus merelakan diri untuk
menebus dendammu dulu. Kita semua pernah muda, terutama generasiku, dan
(mungkin) pernah mengalami saat-saat disepelekan kesedihan dan
kebimbangannya oleh orang-orang yang lebih tua, atau mereka yang
mengklaim dirinya lebih realistis, rasional dan logis dalam menghadapi
hidup. Dendam itu adalah: Jangan sampai lagi ada generasi yang lebih
muda memiliki rasa ditinggalkan yang sama, untuk kemudian menyumpahi
hidup sebagai kebun binatang besar dimana manusia tak beda dengan
kambing yang cuma peduli isi perut dan nafsu berahinya sendiri. Dan
dendam seperti itu, dari masa-masa generasiku sendiri, yang bikin jaket
dikenakan, kancing dirapatkan, dan motor dilajukan. Bukan untuk menjadi hero of the day,
pahlawan kemalaman, tapi sekedar menghantar diri untuk menjadi kawan
bagi orang muda yang sedang dibimbangkan keterharuan penghidupan.
Paska beberapa menit melajukan motor, ngebut
menembus bayang tipis kabut yang mulai turun di kawasan irigasi, apa
yang kutemukan adalah dua orang adik angkatan yang duduk berdiam diri di
satu meja sudut sebuah jajanan sederhana. Dalam jarak sekitar 10 meter
dari jembatan yang melintang di atas bendungan besar, sebuah lemari
kecil untuk berjualan burger made in desa cuma dihuni oleh dua orang remaja lainnya yang obrolannya ditelan deru sungai.
Meja
itu bentuknya empat persegi panjang. Di sisi panjang menghadap sungai,
dua orang muda itu duduk berjejer, dan di satu sudut lain menghadap arah
jembatan, sebuah kursi kosong tersedia untuk meletakkan pantatku dan
diam membisu.
Aku memahami aturan
permainan putus cinta dengan kesedihan pelarian demikian: Jangan pernah
bertanya langsung pada korban perasaan abstrak itu pertanyaan khas
wartawan yang cuma cari berita. Asdamba: Apa, siapa, dimana, mengapa dan
bagaimana. Ini masalah rasa, bukan masalah jurnalistik atau pembuatan
berita acara.
Menyelipkan sebatang
rokok di bibir, meraba dinginnya pagar besi pembatas antara bibir
jurang dan sungai irigasi yang mengalir di depan mata, antara deru air
meriak tenang, kesiur angin menjelang larut malam, antara kami bertiga
membentang kesunyian lengang. Langit cukup bersih, dan purnama sudah
lewat, warnanya pucat sekarat. Sepucat wajah adik angkatan di sebelahku,
di sisi kananku, yang menunduk-nunduk dan hampa menatap hamburger
di meja, sebuah karya seni dapur olahan remaja desa. Di remang-remang
cuaca dan lampu penerangan yang tak seberapa, sudut matanya basah.
Wahai!
Lelaki menangis! Seorang pria muda yang baru masuk usia duapuluhan,
seorang anak manusia berjenis kelamin jantan yang baru diwisuda, seorang
adik angkatan yang pernah turun ke jalan di kota kecil ini untuk
membakar ban dalam euforia mahasiswa menjadi demonstran terhadap
kecurangan dalam pemerintahan dan skandal pemiliihan para adipati masa
depan; kini sudut matanya berlinang karena seorang perempuan. Tak lain
dan tak bukan, karena seorang perempuan.
Aku
merabai hari esok dalam pikiranku sendiri. Jika matahari telah terbit,
jika deru roda bisnis sudah berputar, jika antrian nasabah di perbankan
sudah meruah, dan kekerasan persaingan hidup menuntut manusia -terutama
pria- menjadi maskulin dan kasar demi marwah: air mata setetes-dua itu
akan dianggap pengkhianatan oleh mayoritas bani Adam. Apalagi bagi yang
menuhankan realita, mengagungkan kejantanan tanpa air mata.
Tapi
bukankah dunia adalah panggung sandiwara, Kawan? Napoleon Bonaparte
yang nyaris menaklukkan Eropa, Nero yang pernah membakar kota Roma,
Geronimo Sang Pemimpin pemberontakan Indian, bahkan Soekarnoa yang bisa
membakar massa dengan orasinya di lapangan Ikeda bertahun-tahun silam;
siapa jamin pasti mereka tak pernah menangis?
Dalam
kumpulan surat-suratnya di " Napoleon's Letters to Josephine 1796-1812"
(editan Henry Foljambe Hall), Napoleon bahkan sedia kalah perang asal
jangan ditinggalkan Josephine yang dicintainya.
Apalagi...
semalam itu, yang di sudut matanya ada sepercik air menggenang,
hanyalah seorang anak muda remaja. Masih belia, tak jauh beda dengan
orang berusia 40 tahun yang dimabuk puber kedua. Usia dan jenis kelamin,
bagiku, tak bisa jadi alasan untuk melecehkan kesedihan atas sebentuk
rasa abstrak bernama cinta itu.
Maka
itu, aku diam saja. Menikmati setiap asap melenyap dari bibirku selama
beberapa saat, hingga mulailah dia bicara. Bicara perlahan-lahan... lalu
sekali naik meninggi, dan sekali menurun nadanya. Sesekali pula aku
menyela bertanya dan menjawab sebisanya. Masalah sederhana yang tidak
selalu sederhana jawabannya. Cinta, Kawan. Cinta...
Adik
angkatanku ini, dengan selisih usia berpaut antara bangku kuliah dan
celana SMP warna biru, sudah cukup lama memendam harap pada sebuah
hubungan sebiasa yang pernah kita, kawan-kawan sebaya, berhalakan juga
di masa remaja dan mungkin esok lusa ketika rasa yang sama tiba menggoda
jiwa. Hubungan kasih mesra dan bujuk-rayu perasaan meracuni mimpi untuk
hidup bersama di masa depan, berdua sampai tergali sudah lubang
kuburan. Tinggi harapannya, harapan mereka berdua, mungkin sama atau
lebih tinggi dengan mimpiku sendiri tentang musik dan sastra yang
diracuni MTV dan Neruda di masa remaja. Harapan yang sama pula
terpatahkan dalam waktu yang berbeda.
Kemarin,
hubungan itu berai. Selesai. Cinta menjadi seperti kodok di depan
mataku, yang kulihat tersesat melompat dan bunuh diri masuk ke jurang
irigasi. Dan apa yang lebih menyakitkannya adalah pernyataan bahwa dia -
wanita terkasih itu - sudah memantapkan diri untuk menjalin hubungan
dengan pria muda lain. Tidak sembarang mengakui pula, bahkan konon itu
status hubungan sudah diproklamasikan ke sesiapa saja yang berkesiur
hidup di antara mereka berdua.
Ah, musim berganti dan pohon pala baru tumbuh kembali!
Aku
tak bisa sok-tahu merabai hatinya. Aku tak bisa menggantikan posisiku
di posisinya. Cerita kami berbeda-beda, beda generasi dan beda alurnya,
tapi intinya tetap sama: Ada rasa kecewa dalam bentuk-bentuk lain karena
ada yang datang dan ada yang pergi.
Apa
yang kufahami cuma satu: Lelaki menangis, Kawan -terutama kau yang
perempuan- bukan hal biasa, untuk kau tahu. Mungkin wanita jemu dengan
lelaki berair-mata buaya yang setengah mampus "operasi plastik"
menampilkan citra sebagai Don Juan of Indonesia. Mungkin pula wanita
akan menganggap lelaki begini, adik angkatanku ini, terlalu manja
menerima logika dan kenyataan hidup.
Tapi
menangis di depan wanita dan menangis di depan abang angkatannya, meski
tanpa suara terisak-isak, adalah hal yang berbeda. Jika kau berada
semalam denganku, Kawan, di bendungan Mata Ie, kemukiman Kuta Tinggi
kecamatan ini, kau akan merasakan aura yang tak sama dengan sinetron dan
segala melodrama korea yang manis-rupawan.
Dalam
suaranya bercerita, ada cinta dan rasa berdosa, ada ego dan
keputus-asaan di saat yang sama, ada kesintingan remaja yang
mempersetankan logika untuk malam itu juga berangkat ke kota di luar
sana, untuk berkata pada wanita tersebut, "Aku masih mencintaimu sepenuh
jiwa!"
Mereka terjebak, sepanjang
yang kupahami (karena pria dan wanitanya ini sama-sama adik angkatanku
sendiri) dalam perasaan, kemarahan dan keegoan sendiri-sendiri. Mereka,
seperti sepasang laba-laba terperangkap dalam jaring-jaring cinta dan
dosa yang mereka bikin sendiri.
Dosa?
Ya. Dosa.
Bagi
adik angkatanku itu, menciumi bibir si wanita dengan penuh nafsu atas
nama cinta, adalah sebuah dosa yang memburunya sampai hari ini. Mungkin
bagi generasiku yang sudah brengsek dalam pergaulan para bajingan remaja
kota kecil ini di era 1990-an, laku begitu rupa masih boleh dianggap
dosa. Tapi tahun-tahun menjadi makin modern, dan hubungan seks di luar
nikah pun sudah menjadi dosa biasa serupa membuang sampah saja. Siapa
peduli dengan itu semua?
Namun
tidak baginya. Mereka, pasangan remaja itu, adalah anak-anak yang lahir
dan besar dari keluarga yang cukup religius. Tak kurang pendidikan agama
dan ketatnya kontrol moral orang tua dan keluarga. Aku mengenal orang
tua mereka, terlebih ayah dan ibu dari adik angkatanku yang menangis
semalam itu. Dia, adik angkatanku itu, bahkan tak merokok, tak menyukai
minuman keras, dan tidak suak dengan ganja yang dulu -saat aku
seusianya- adalah konsumsi biasa para remaja durhaka yang keluyuran di
jalanan malam.
Dia... cukup waras
untuk menolak terjebak dalam lingkaran setan seperti nikotin yang sudah
merabuk di dadaku sendiri. Tapi... dia tidak cukup waras semalam itu
untuk urusan cinta yang selaras kasih bersisa di antara rasa kecewa
dalam dirinya sendiri.
Aku tak
bisa menakar seperti apa cinta itu sebenarnya, selain bercermin pada
kisah-kisah masa remaja generasiku sendiri. Dulu... bertahun lampau, ada
sahabat menangis di kamarku. Jagoan taekwondo yang kakinya lincah kalau
mengincar batang leher lawan. Dulu... bertahun lampau, saat SMA, di
puncak atas rumahku, seorang sahabat lainnya pula menangis karena berai
dengan kawanku, sekretaris kelasku saat SMP dulu. Adalah ironi hidup
melihat jagoan karate yang mahir menarikan tendangan melingkar mawashi-geri
ke muka musuh, saat itu terduduk di sudut pagar puncak rumah dengan
wajah lusuh. Para berandal yang bisa berdarah-darah hidung dan
bengap-bengap mukanya berkelahi di masa-masa remaja, tanpa ada setetes
pun air mata, tersepak ke sudut dan menggigit bibir menahan air mata
berkabut.
Mereka... adalah
orang-orang yang kukenal setia dalam hidupnya. Jika kau berteman dengan
salah satu dari para (mantan) berandal itu, dan kau telepon mereka saat
itu, atau bahkan hari ini, dan berkata bahwa kau sedang diancam, sedang
menghadapi kesusahan, sedang ingin mengadakan acara dan butuh uluran
tangan, maka jika tak ada aral-melintang, mereka akan datang. Mereka tak
akan mengkhianati ucapan "Insya Allah" untuk mengingkari janji.
Terhadap
sahabat, Kawan, mereka kukenal seperti itu. Tanpa air mata. Tanpa air
mata, Kawan.... bahkan saat merelakan punggungnya dipijak-pijak dan
disepak-sepak sepatu DocMart -sepatu yang pernah populer di masa remaja
dulu dengan sol yang cukup tebal untuk menghantam patah rusukmu- cuma
untuk melindungiku sekali waktu di masa lalu. Apalagi untuk perempuan
yang mereka cintai... Aku bisa katakan ini dengan pasti. Bertahun mereka
sendiri, tak sudi membuka hati.
Logika
matematika tidak pernah berjalan untuk soal yang satu ini. Demikianlah
adanya. Pepatah para pejuang kemerdekaan, "Mati satu tumbuh seribu",
tidak selalu berlaku untuk para pejuang kebebasan mencari identitas
seperti kawan-kawan di masa laluku itu.
Dan
tidak juga untuk adik angkatanku semalam itu. Dia, yang isi kepalanya
cukup brilian hingga bisa menuntaskan kuliah lebih cepat dan ide-idenya
tentang pengorganisasian paguyuban cukup maju, semalam seperti hilang
kewarasan karena -kata Dewa 19- laras hati berkelana iris janji, setelah
mengukir bisikan-bisikan memacu hasrat, dan desir-desir mimpi
isyaratkan legit dunia.
Amboii.... sudah berapa lama aku tak melihat ada kawan laki-laki menangis? Karena wanita pula? Ada setengah dekade rasanya.
Dari tape recorder di rak burger,
Dewa 19 menyanyikan lagu lawas "Kamulah Satu-satunya". Remaja di pojok
itu, semalam, mungkin dapat firasat bahwa tiga cecunguk yang bercokol di
sudut dekat pagar pembatas jurang irigasi, sedang mendengar dan
berbicara tentang urusan brengsek bernama cinta-mencintai itu.
Aku
mencengir, bahkan masih mencengir saat mengetikkan ini. Seperti itulah
orang muda itu, yang berduka wajahnya, mungkin merasa diwakili Ari Lasso
dengan lagu yang meluncur bertahun lampau, di saat dia masih lebih
mengenal Satria Baja Hitam daripada bayangan cinta datang menyulam, lalu
pergi dan semangat hidup menyuram.
Aku
tak memberinya banyak solusi semalam itu. Tidak. Semua manusia memiliki
sejarah hidup sendiri-sendiri, alur sendiri-sendiri, dan pola pikir
sendiri-sendiri. Apa yang diperlukannya hanyalah teman berbagi, dengan
sobatnya yang sudah panik mengirimkan pesan ke ponselku, dan denganku
pula pada akhirnya. Faktor usia yang mengizinkan duluan makan asam-garam
kehidupan begini singkat, tidak lantas pula membenarkanku untuk merasa
hebat memberinya petuah-petuah kehidupan. Orang muda remaja sering tidak
membutuhkan omong-kosong kebijakan seperti itu. Cuma berbagi dan
berbagi. Dia bercerita dan aku mendengar. Lalu aku bercerita pula,
tentang fase yang sama di masa lalu, tanpa menggurui, tanpa memerintah,
karena keputusan hidup ada dalam tangan masing-masing. Tidak ada
kebahagiaan sempurna dan tidak ada petuah sempurna, demikian yang
kutahu. Apa yang bisa kuberikan dan diterimanya adalah bagaimana
menenangkan hati dahulu, pulang, minum susu, ingat hal-hal menyenangkan,
dan bawa tidur.
Aku tahu dan dia
mengakui, bahwa ada ego mendesak-desak, ada harap masih mau meledak. Dan
ada rasa bersalah menggasak dalam dirinya, rasa cemas, bagaimana kalau
nanti bibir wanita itu dilecehkan karena sudah pernah diciumnya,
dilecehkan oleh pria yang kini bersama dengannya? Bagaimana kalau nanti
wanita tersebut dicampakkan karena dianggap bekas, mau-maunya dicium
mesra begitu rupa?
Konyol
kedengarannya. Tapi... kami masih hidup di daerah yang cukup religius di
sini, dengan pelanggaran syariat Islam dibesarkan oleh media massa
saja. Di sini... anak gadis dicium-cium bibirnya, apalagi lebih dari
itu, bisa jadi aib keluarga jika menyebar di masyarakat. Istilah bispak
sudah meruncing di sini, sehingga bukan sekedar perkara hubungan
seksual, bahkan pelanggaran etika dengan bibir mencumbu bibir seperti
pengakuan dosanya itu, adalah hal memalukan.
Dan apa maunya?
Ini
yang membuatku diam dan paham, ini anak punya kesetiaan dan
tanggung-jawab yang sekilas menggelikan tapi menimbulkan rasa hormat.
Bahwa dia yang pertama membuka dosa, mencium lekat bibirnya untuk
pertama sekali dalam hidupnya, dan dia ingin... sangat ingin...
menebusnya dengan menjadi pencium bibir itu untuk selamanya. Studi sudah
beberapa bulan diselesaikannya, dan dia cuma ingin... sangat ingin...
atas segala dosa perangai mereka yang masih dalam batas kewajaran bahkan
usang di parade kondom fiesta, untuk bisa bersama. Bersama kembali dan
menikah secepat mungkin.
Aku
melongo. Orang muda yang mabuk asmara biasanya memang mendadak bego,
sehingga setiap ucapan mereka boleh jadi karena mabuk. Tapi, jika kau
mendengarnya bicara semalam dengan rasa tanggung-jawab atas dosa
kampungan begitu rupa, jika dia ingin menutup cela itu bersama
selamanya, jika dia sedia kusumpahi untuk pegang komitmen sehingga aku
bisa membantu bicara dengan orang tuanya atau kelak kusepak pantatnya ke
irigasi di depan mata kami, kau akan mendengar ucapan yang naif tapi
jujur.
Sebuah masalah antara dua
anak manusia yang berpangkal dari ego dan kemarin beradu. Keputusan
telah diambil sepihak karena ego, dan di sini semalam juga ada ego
sepihak untuk ingin bertahan dan memastikan ego mimpi yang pernah mereka
percayai. Benturan ego yang tak bisa dibuat statistik analitik seperti
Benturan Peradaban-nya Samuel Huntington, selain dinikmati dalam seracik
cerita dua generasi di ujung irigasi.
"Love and selfishness kinda go hand in hand, don't they?"
tanya Sanosuke Sagara, si jambul ayam berandalan dalam komik Samurai-X.
Dan Si Jambul Ayam fiktif itu benar adanya. Cinta dan keegoan memang
seperti sepasang manusia berjalan gandengan tangan. Tak harus selalu
seirama bersama dengan jalan yang mulus-mulus saja. Tangan boleh berayun
serempak, tapi kaki tidak sama merentak. Di persimpangan akan ada yang
hendak berbelok ke kiri dan ada yang hendak ke kanan. Menyamakan
persepsi saja yang menjadi persoalan. Dan aku tak bisa apa-apa selain
mengatakan padanya bahwa satu hari nanti dia tak usah malu jika
terkenang bahwa semalam itu dia sempat meneteskan beberapa butir air
mata. Tak ada yang bikn orang muda merasa berbeda dari Orang Utan di
hari tua nanti, selain pernah memiliki kenangan pahit-manis hidup dan
mencintai begitu rupa. Apakah dia akan kembali atau tidak, adik
angkatanku itu mesti bangga bahwa semalam dia bukan benda mati seperti
ban yang pernah dibakarnya di masa jadi demonstran, tapi membuktikan
bahwa karena dia punya hatilah dia turun ke jalan, dan karena punya
hatilah dia menangis di tepi bendungan.
Di
langit... bulan begitu perak. Keruh warnanya. Sekeruh mata belia yang
baru menangis di depanku semalam itu. Aku merabai angin dingin meniup
wajah dan berharap kelak hati yang sedang gundah dan marah itu tidak
mendingin seperti yang pernah kulihat dalam hidupku. Hati... karena cuma
hati saja yang membuat kita menjadi manusia, karena kita bukan robot
yang penuh kalkulasi matematika. Jika kelak dia rajin menulis seperti
aku mengajarnya untuk bikin blog dan menulis selepas-bebas dia mau,
dengan tidak membiarkan hatinya mati karena kekecewaan belia yang naif
seperti yang mungkin pernah generasiku lewati, maka mungkin sudut
irigasi semalam akan melahirkan Leo Tolstoy lain yang berkisah Karenina
lain pula. Siapa tahu dari air mata kesetiaan dan harapan yang
sepertinya tinggal sajian manis melodrama asing, sebuah biografi dari
anak muda cerdas itu kelak akan menjadi Motorcycle Diaries yang lain?
Entahlah.
Cuma sebuah kutipan lama dari sebuah buku lawas, melintas-lintas dalam
benakku dalam perjalanan pulang. Bunyinya begini:
"Camkanlah anak muda! Menurut Pascal hati memang mempunyai logika tersendiri, tidak selalu satu tambah satu jadi dua, terutama mereka yang belum mengikuti keluarga berencana." {Jujun S. Suriasumantri, "Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer", cet. 1985, hal. 161}
Malam
menanjak larut. Bulan naik meninggi. Sudah hampir tengah malam dan aku
mengajak mereka pulang. Pulang dan mungkin tidur atau sekedar melamunkan
masa lalu untuk bercermin diri, sebelum matahari pagi nanti kembali.
Udara
segar dan hawa air sungai basah. Kami berpisah, dan aku lega melihatnya
tertawa sesekali sambil melangkah mendekati parkiran motor, membodohi
diri sendiri dengan cerita tolol masa lalu, saat usiaku sebaya dengan
mereka berdua. Dalam hitungan menit sudah lengang dan aku sendiri di
jalanan menuruni perkampungan.
Dalam
deru motor berhembus angin semalam, di atas aspal pekat hitam dan
langit agak berawan, semalam itu bulan begitu pucat. Pucat perak
warnanya, Kawan. Deru sungai di bendungan yang lengang dan kesiur angin
akan segera lenyap dalam kamar dan secangkir kopi hangat. Dan aku
mendadak mau menangis dengan permainan hidup begini rupa pada generasi
muda. Banyak dari yang kukenal, saat usia naik meninggi terlupa bahwa
mereka pernah muda dan orang-orang patah hati begini sering ditinggalkan
sendiri untuk disumpahi sebagai remaja idiot yang pendek akal bunuh
diri....
Tapi aku tak akan lupa
semalam itu: Di langit... di langit ujung desa di kaki bukit, bulan
sepucat perak warnanya. Warna keterasingan dan kesedihan saat purnama
baru berlalu...