Jumat, 13 Juli 2012

Cara Memperlambat/Memberhentikan waktu cyber billing

 ini adalah trik untuk menghentikan billing yang biasa ada diwarnet.
 bisa dilambatin sma bisa diberhentiin . pakai Cheat Engine v5.3

 download disini . untuk tutorialnya . cyberbilling-ray16 Url: http://www.indowebster.com/cyberbillingray16.html Diupload tgl: 20/02/08 Size: 186.82MB Vurln nya di sinkronisasi waktu server sma client, coz Client > Server kalo klien waktunya berhenti / lambat di server pun juga gitu . 

cara, tapi jng ketahuan servernya ya ?? 




1. SETELAH PAKAI CHEAT ENGINE DAN WAKTU     BERHENTI / LAMBAT
 

2. SETELAH PUAS MAIN

 3. RESTARTTTT!! DENGAN TOMBOL PANIC. coba aja !! 




nih buat yang mau isengin warnet/OPnya

Camp Wetan 1968

Kamis, 26 Januari 2012

Yang Muda Yang bercinta




Semalam, langitnya bersih dan jarum jam baru melewati pukul sembilan ketika sebuah pesan mampir di ponsel. Pesan dari seorang adik angkatan yang selisih beberapa tahun usianya denganku, dengan barisan kalimat yang singkat, padat dan jelas: Seorang adik angkatan, temannya, sedang menangis di ujung desa, di bendungan besar ke arah bukit sana.

Firasatku menggiring bibir tersenyum dan menggumam berkata: Ini tak lain pasti urusan cinta orang muda. Ya, seperti film lawas itu: Yang Muda Yang Bercinta.

Aku pun menghubungi sobat dekat, yang selepas maghrib sempat mengajakku mencicipi segelas kopi pelepas hari, tanpa merinci banyak hal selain, "Bro... adik leting awak sedang susah itu. Ke irigasi kita 'bentar?"

Tapi beliau yang baru sembuh dari demam, dengan permintaan maaf, meminta izin untuk tidak bisa mengawankan serta ke sana. Badanku sendiri agak-agak kurang sehat, masih dalam tahap penyembuhan selepas disikat demam, konon kualat karena mengejek sobatku itu saat demam seminggu yang lalu. Maka, dengan badan masih suam-suam kuku, dihembus angin malam yang sejuk laknat dari arah bukit merapat-rapat di kawasan bendungan, kukira bukan suatu hal yang nikmat.

Namun, apapun juga... ketika ada orang muda yang sedang bimbang, dan kau berada di posisiku, maka terkadang kau harus merelakan diri untuk menebus dendammu dulu. Kita semua pernah muda, terutama generasiku, dan (mungkin) pernah mengalami saat-saat disepelekan kesedihan dan kebimbangannya oleh orang-orang yang lebih tua, atau mereka yang mengklaim dirinya lebih realistis, rasional dan logis dalam menghadapi hidup. Dendam itu adalah: Jangan sampai lagi ada generasi yang lebih muda memiliki rasa ditinggalkan yang sama, untuk kemudian menyumpahi hidup sebagai kebun binatang besar dimana manusia tak beda dengan kambing yang cuma peduli isi perut dan nafsu berahinya sendiri. Dan dendam seperti itu, dari masa-masa generasiku sendiri, yang bikin jaket dikenakan, kancing dirapatkan, dan motor dilajukan. Bukan untuk menjadi hero of the day, pahlawan kemalaman, tapi sekedar menghantar diri untuk menjadi kawan bagi orang muda yang sedang dibimbangkan keterharuan penghidupan.

Paska beberapa menit melajukan motor, ngebut menembus bayang tipis kabut yang mulai turun di kawasan irigasi, apa yang kutemukan adalah dua orang adik angkatan yang duduk berdiam diri di satu meja sudut sebuah jajanan sederhana. Dalam jarak sekitar 10 meter dari jembatan yang melintang di atas bendungan besar, sebuah lemari kecil untuk berjualan burger made in desa cuma dihuni oleh dua orang remaja lainnya yang obrolannya ditelan deru sungai.

Meja itu bentuknya empat persegi panjang. Di sisi panjang menghadap sungai, dua orang muda itu duduk berjejer, dan di satu sudut lain menghadap arah jembatan, sebuah kursi kosong tersedia untuk meletakkan pantatku dan diam membisu.

Aku memahami aturan permainan putus cinta dengan kesedihan pelarian demikian: Jangan pernah bertanya langsung pada korban perasaan abstrak itu pertanyaan khas wartawan yang cuma cari berita. Asdamba: Apa, siapa, dimana, mengapa dan bagaimana. Ini masalah rasa, bukan masalah jurnalistik atau pembuatan berita acara.

Menyelipkan sebatang rokok di bibir, meraba dinginnya pagar besi pembatas antara bibir jurang dan sungai irigasi yang mengalir di depan mata, antara deru air meriak tenang, kesiur angin menjelang larut malam, antara kami bertiga membentang kesunyian lengang. Langit cukup bersih, dan purnama sudah lewat, warnanya pucat sekarat. Sepucat wajah adik angkatan di sebelahku, di sisi kananku, yang menunduk-nunduk dan hampa menatap hamburger di meja, sebuah karya seni dapur olahan remaja desa. Di remang-remang cuaca dan lampu penerangan yang tak seberapa, sudut matanya basah.

Wahai! Lelaki menangis! Seorang pria muda yang baru masuk usia duapuluhan, seorang anak manusia berjenis kelamin jantan yang baru diwisuda, seorang adik angkatan yang pernah turun ke jalan di kota kecil ini untuk membakar ban dalam euforia mahasiswa menjadi demonstran terhadap kecurangan dalam pemerintahan dan skandal pemiliihan para adipati masa depan; kini sudut matanya berlinang karena seorang perempuan. Tak lain dan tak bukan, karena seorang perempuan.

Aku merabai hari esok dalam pikiranku sendiri. Jika matahari telah terbit, jika deru roda bisnis sudah berputar, jika antrian nasabah di perbankan sudah meruah, dan kekerasan persaingan hidup menuntut manusia -terutama pria- menjadi maskulin dan kasar demi marwah: air mata setetes-dua itu akan dianggap pengkhianatan oleh mayoritas bani Adam. Apalagi bagi yang menuhankan realita, mengagungkan kejantanan tanpa air mata.

Tapi bukankah dunia adalah panggung sandiwara, Kawan? Napoleon Bonaparte yang nyaris menaklukkan Eropa, Nero yang pernah membakar kota Roma, Geronimo Sang Pemimpin pemberontakan Indian, bahkan Soekarnoa yang bisa membakar massa dengan orasinya di lapangan Ikeda bertahun-tahun silam; siapa jamin pasti mereka tak pernah menangis?

Dalam kumpulan surat-suratnya di " Napoleon's Letters to Josephine 1796-1812" (editan Henry Foljambe Hall), Napoleon bahkan sedia kalah perang asal jangan ditinggalkan Josephine yang dicintainya.

Apalagi... semalam itu, yang di sudut matanya ada sepercik air menggenang, hanyalah seorang anak muda remaja. Masih belia, tak jauh beda dengan orang berusia 40 tahun yang dimabuk puber kedua. Usia dan jenis kelamin, bagiku, tak bisa jadi alasan untuk melecehkan kesedihan atas sebentuk rasa abstrak bernama cinta itu.

Maka itu, aku diam saja. Menikmati setiap asap melenyap dari bibirku selama beberapa saat, hingga mulailah dia bicara. Bicara perlahan-lahan... lalu sekali naik meninggi, dan sekali menurun nadanya. Sesekali pula aku menyela bertanya dan menjawab sebisanya. Masalah sederhana yang tidak selalu sederhana jawabannya. Cinta, Kawan. Cinta...

Adik angkatanku ini, dengan selisih usia berpaut antara bangku kuliah dan celana SMP warna biru, sudah cukup lama memendam harap pada sebuah hubungan sebiasa yang pernah kita, kawan-kawan sebaya, berhalakan juga di masa remaja dan mungkin esok lusa ketika rasa yang sama tiba menggoda jiwa. Hubungan kasih mesra dan bujuk-rayu perasaan meracuni mimpi untuk hidup bersama di masa depan, berdua sampai tergali sudah lubang kuburan. Tinggi harapannya, harapan mereka berdua, mungkin sama atau lebih tinggi dengan mimpiku sendiri tentang musik dan sastra yang diracuni MTV dan Neruda di masa remaja. Harapan yang sama pula terpatahkan dalam waktu yang berbeda.

Kemarin, hubungan itu berai. Selesai. Cinta menjadi seperti kodok di depan mataku, yang kulihat tersesat melompat dan bunuh diri masuk ke jurang irigasi. Dan apa yang lebih menyakitkannya adalah pernyataan bahwa dia - wanita terkasih itu - sudah memantapkan diri untuk menjalin hubungan dengan pria muda lain. Tidak sembarang mengakui pula, bahkan konon itu status hubungan sudah diproklamasikan ke sesiapa saja yang berkesiur hidup di antara mereka berdua.

Ah, musim berganti dan pohon pala baru tumbuh kembali!

Aku tak bisa sok-tahu merabai hatinya. Aku tak bisa menggantikan posisiku di posisinya. Cerita kami berbeda-beda, beda generasi dan beda alurnya, tapi intinya tetap sama: Ada rasa kecewa dalam bentuk-bentuk lain karena ada yang datang dan ada yang pergi.

Apa yang kufahami cuma satu: Lelaki menangis, Kawan -terutama kau yang perempuan- bukan hal biasa, untuk kau tahu. Mungkin wanita jemu dengan lelaki berair-mata buaya yang setengah mampus "operasi plastik" menampilkan citra sebagai Don Juan of Indonesia. Mungkin pula wanita akan menganggap lelaki begini, adik angkatanku ini, terlalu manja menerima logika dan kenyataan hidup.

Tapi menangis di depan wanita dan menangis di depan abang angkatannya, meski tanpa suara terisak-isak, adalah hal yang berbeda. Jika kau berada semalam denganku, Kawan, di bendungan Mata Ie, kemukiman Kuta Tinggi kecamatan ini, kau akan merasakan aura yang tak sama dengan sinetron dan segala melodrama korea yang manis-rupawan.

Dalam suaranya bercerita, ada cinta dan rasa berdosa, ada ego dan keputus-asaan di saat yang sama, ada kesintingan remaja yang mempersetankan logika untuk malam itu juga berangkat ke kota di luar sana, untuk berkata pada wanita tersebut, "Aku masih mencintaimu sepenuh jiwa!"

Mereka terjebak, sepanjang yang kupahami (karena pria dan wanitanya ini sama-sama adik angkatanku sendiri) dalam perasaan, kemarahan dan keegoan sendiri-sendiri. Mereka, seperti sepasang laba-laba terperangkap dalam jaring-jaring cinta dan dosa yang mereka bikin sendiri.

Dosa?

Ya. Dosa.

Bagi adik angkatanku itu, menciumi bibir si wanita dengan penuh nafsu atas nama cinta, adalah sebuah dosa yang memburunya sampai hari ini. Mungkin bagi generasiku yang sudah brengsek dalam pergaulan para bajingan remaja kota kecil ini di era 1990-an, laku begitu rupa masih boleh dianggap dosa. Tapi tahun-tahun menjadi makin modern, dan hubungan seks di luar nikah pun sudah menjadi dosa biasa serupa membuang sampah saja. Siapa peduli dengan itu semua?

Namun tidak baginya. Mereka, pasangan remaja itu, adalah anak-anak yang lahir dan besar dari keluarga yang cukup religius. Tak kurang pendidikan agama dan ketatnya kontrol moral orang tua dan keluarga. Aku mengenal orang tua mereka, terlebih ayah dan ibu dari adik angkatanku yang menangis semalam itu. Dia, adik angkatanku itu, bahkan tak merokok, tak menyukai minuman keras, dan tidak suak dengan ganja yang dulu -saat aku seusianya- adalah konsumsi biasa para remaja durhaka yang keluyuran di jalanan malam.

Dia... cukup waras untuk menolak terjebak dalam lingkaran setan seperti nikotin yang sudah merabuk di dadaku sendiri. Tapi... dia tidak cukup waras semalam itu untuk urusan cinta yang selaras kasih bersisa di antara rasa kecewa dalam dirinya sendiri.

Aku tak bisa menakar seperti apa cinta itu sebenarnya, selain bercermin pada kisah-kisah masa remaja generasiku sendiri. Dulu... bertahun lampau, ada sahabat menangis di kamarku. Jagoan taekwondo yang kakinya lincah kalau mengincar batang leher lawan. Dulu... bertahun lampau, saat SMA, di puncak atas rumahku, seorang sahabat lainnya pula menangis karena berai dengan kawanku, sekretaris kelasku saat SMP dulu. Adalah ironi hidup melihat jagoan karate yang mahir menarikan tendangan melingkar mawashi-geri ke muka musuh, saat itu terduduk di sudut pagar puncak rumah dengan wajah lusuh. Para berandal yang bisa berdarah-darah hidung dan bengap-bengap mukanya berkelahi di masa-masa remaja, tanpa ada setetes pun air mata, tersepak ke sudut dan menggigit bibir menahan air mata berkabut.

Mereka... adalah orang-orang yang kukenal setia dalam hidupnya. Jika kau berteman dengan salah satu dari para (mantan) berandal itu, dan kau telepon mereka saat itu, atau bahkan hari ini, dan berkata bahwa kau sedang diancam, sedang menghadapi kesusahan, sedang ingin mengadakan acara dan butuh uluran tangan, maka jika tak ada aral-melintang, mereka akan datang. Mereka tak akan mengkhianati ucapan "Insya Allah" untuk mengingkari janji.

Terhadap sahabat, Kawan, mereka kukenal seperti itu. Tanpa air mata. Tanpa air mata, Kawan.... bahkan saat merelakan punggungnya dipijak-pijak dan disepak-sepak sepatu DocMart -sepatu yang pernah populer di masa remaja dulu dengan sol yang cukup tebal untuk menghantam patah rusukmu- cuma untuk melindungiku sekali waktu di masa lalu. Apalagi untuk perempuan yang mereka cintai... Aku bisa katakan ini dengan pasti. Bertahun mereka sendiri, tak sudi membuka hati.

Logika matematika tidak pernah berjalan untuk soal yang satu ini. Demikianlah adanya. Pepatah para pejuang kemerdekaan, "Mati satu tumbuh seribu", tidak selalu berlaku untuk para pejuang kebebasan mencari identitas seperti kawan-kawan di masa laluku itu.

Dan tidak juga untuk adik angkatanku semalam itu. Dia, yang isi kepalanya cukup brilian hingga bisa menuntaskan kuliah lebih cepat dan ide-idenya tentang pengorganisasian paguyuban cukup maju, semalam seperti hilang kewarasan karena -kata Dewa 19- laras hati berkelana iris janji, setelah mengukir bisikan-bisikan memacu hasrat, dan desir-desir mimpi isyaratkan legit dunia.

Amboii.... sudah berapa lama aku tak melihat ada kawan laki-laki menangis? Karena wanita pula? Ada setengah dekade rasanya.

Dari tape recorder di rak burger, Dewa 19 menyanyikan lagu lawas "Kamulah Satu-satunya". Remaja di pojok itu, semalam, mungkin dapat firasat bahwa tiga cecunguk yang bercokol di sudut dekat pagar pembatas jurang irigasi, sedang mendengar dan berbicara tentang urusan brengsek bernama cinta-mencintai itu.

Aku mencengir, bahkan masih mencengir saat mengetikkan ini. Seperti itulah orang muda itu, yang berduka wajahnya, mungkin merasa diwakili Ari Lasso dengan lagu yang meluncur bertahun lampau, di saat dia masih lebih mengenal Satria Baja Hitam daripada bayangan cinta datang menyulam, lalu pergi dan semangat hidup menyuram.

Aku tak memberinya banyak solusi semalam itu. Tidak. Semua manusia memiliki sejarah hidup sendiri-sendiri, alur sendiri-sendiri, dan pola pikir sendiri-sendiri. Apa yang diperlukannya hanyalah teman berbagi, dengan sobatnya yang sudah panik mengirimkan pesan ke ponselku, dan denganku pula pada akhirnya. Faktor usia yang mengizinkan duluan makan asam-garam kehidupan begini singkat, tidak lantas pula membenarkanku untuk merasa hebat memberinya petuah-petuah kehidupan. Orang muda remaja sering tidak membutuhkan omong-kosong kebijakan seperti itu. Cuma berbagi dan berbagi. Dia bercerita dan aku mendengar. Lalu aku bercerita pula, tentang fase yang sama di masa lalu, tanpa menggurui, tanpa memerintah, karena keputusan hidup ada dalam tangan masing-masing. Tidak ada kebahagiaan sempurna dan tidak ada petuah sempurna, demikian yang kutahu. Apa yang bisa kuberikan dan diterimanya adalah bagaimana menenangkan hati dahulu, pulang, minum susu, ingat hal-hal menyenangkan, dan bawa tidur.

Aku tahu dan dia mengakui, bahwa ada ego mendesak-desak, ada harap masih mau meledak. Dan ada rasa bersalah menggasak dalam dirinya, rasa cemas, bagaimana kalau nanti bibir wanita itu dilecehkan karena sudah pernah diciumnya, dilecehkan oleh pria yang kini bersama dengannya? Bagaimana kalau nanti wanita tersebut dicampakkan karena dianggap bekas, mau-maunya dicium mesra begitu rupa?

Konyol kedengarannya. Tapi... kami masih hidup di daerah yang cukup religius di sini, dengan pelanggaran syariat Islam dibesarkan oleh media massa saja. Di sini... anak gadis dicium-cium bibirnya, apalagi lebih dari itu, bisa jadi aib keluarga jika menyebar di masyarakat. Istilah bispak sudah meruncing di sini, sehingga bukan sekedar perkara hubungan seksual, bahkan pelanggaran etika dengan bibir mencumbu bibir seperti pengakuan dosanya itu, adalah hal memalukan.

Dan apa maunya?

Ini yang membuatku diam dan paham, ini anak punya kesetiaan dan tanggung-jawab yang sekilas menggelikan tapi menimbulkan rasa hormat. Bahwa dia yang pertama membuka dosa, mencium lekat bibirnya untuk pertama sekali dalam hidupnya, dan dia ingin... sangat ingin... menebusnya dengan menjadi pencium bibir itu untuk selamanya. Studi sudah beberapa bulan diselesaikannya, dan dia cuma ingin... sangat ingin... atas segala dosa perangai mereka yang masih dalam batas kewajaran bahkan usang di parade kondom fiesta, untuk bisa bersama. Bersama kembali dan menikah secepat mungkin.

Aku melongo. Orang muda yang mabuk asmara biasanya memang mendadak bego, sehingga setiap ucapan mereka boleh jadi karena mabuk. Tapi, jika kau mendengarnya bicara semalam dengan rasa tanggung-jawab atas dosa kampungan begitu rupa, jika dia ingin menutup cela itu bersama selamanya, jika dia sedia kusumpahi untuk pegang komitmen sehingga aku bisa membantu bicara dengan orang tuanya atau kelak kusepak pantatnya ke irigasi di depan mata kami, kau akan mendengar ucapan yang naif tapi jujur.

Sebuah masalah antara dua anak manusia yang berpangkal dari ego dan kemarin beradu. Keputusan telah diambil sepihak karena ego, dan di sini semalam juga ada ego sepihak untuk ingin bertahan dan memastikan ego mimpi yang pernah mereka percayai. Benturan ego yang tak bisa dibuat statistik analitik seperti Benturan Peradaban-nya Samuel Huntington, selain dinikmati dalam seracik cerita dua generasi di ujung irigasi.

"Love and selfishness kinda go hand in hand, don't they?" tanya Sanosuke Sagara, si jambul ayam berandalan dalam komik Samurai-X. Dan Si Jambul Ayam fiktif itu benar adanya. Cinta dan keegoan memang seperti sepasang manusia berjalan gandengan tangan. Tak harus selalu seirama bersama dengan jalan yang mulus-mulus saja. Tangan boleh berayun serempak, tapi kaki tidak sama merentak. Di persimpangan akan ada yang hendak berbelok ke kiri dan ada yang hendak ke kanan. Menyamakan persepsi saja yang menjadi persoalan. Dan aku tak bisa apa-apa selain mengatakan padanya bahwa satu hari nanti dia tak usah malu jika terkenang bahwa semalam itu dia sempat meneteskan beberapa butir air mata. Tak ada yang bikn orang muda merasa berbeda dari Orang Utan di hari tua nanti, selain pernah memiliki kenangan pahit-manis hidup dan mencintai begitu rupa. Apakah dia akan kembali atau tidak, adik angkatanku itu mesti bangga bahwa semalam dia bukan benda mati seperti ban yang pernah dibakarnya di masa jadi demonstran, tapi membuktikan bahwa karena dia punya hatilah dia turun ke jalan, dan karena punya hatilah dia menangis di tepi bendungan.

Di langit... bulan begitu perak. Keruh warnanya. Sekeruh mata belia yang baru menangis di depanku semalam itu. Aku merabai angin dingin meniup wajah dan berharap kelak hati yang sedang gundah dan marah itu tidak mendingin seperti yang pernah kulihat dalam hidupku. Hati... karena cuma hati saja yang membuat kita menjadi manusia, karena kita bukan robot yang penuh kalkulasi matematika. Jika kelak dia rajin menulis seperti aku mengajarnya untuk bikin blog dan menulis selepas-bebas dia mau, dengan tidak membiarkan hatinya mati karena kekecewaan belia yang naif seperti yang mungkin pernah generasiku lewati, maka mungkin sudut irigasi semalam akan melahirkan Leo Tolstoy lain yang berkisah Karenina lain pula. Siapa tahu dari air mata kesetiaan dan harapan yang sepertinya tinggal sajian manis melodrama asing, sebuah biografi dari anak muda cerdas itu kelak akan menjadi Motorcycle Diaries yang lain?

Entahlah. Cuma sebuah kutipan lama dari sebuah buku lawas, melintas-lintas dalam benakku dalam perjalanan pulang. Bunyinya begini:
"Camkanlah anak muda! Menurut Pascal hati memang mempunyai logika tersendiri, tidak selalu satu tambah satu jadi dua, terutama mereka yang belum mengikuti keluarga berencana." {Jujun S. Suriasumantri, "Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer", cet. 1985, hal. 161}

Malam menanjak larut. Bulan naik meninggi. Sudah hampir tengah malam dan aku mengajak mereka pulang. Pulang dan mungkin tidur atau sekedar melamunkan masa lalu untuk bercermin diri, sebelum matahari pagi nanti kembali.

Udara segar dan hawa air sungai basah. Kami berpisah, dan aku lega melihatnya tertawa sesekali sambil melangkah mendekati parkiran motor, membodohi diri sendiri dengan cerita tolol masa lalu, saat usiaku sebaya dengan mereka berdua. Dalam hitungan menit sudah lengang dan aku sendiri di jalanan menuruni perkampungan.

Dalam deru motor berhembus angin semalam, di atas aspal pekat hitam dan langit agak berawan, semalam itu bulan begitu pucat. Pucat perak warnanya, Kawan. Deru sungai di bendungan yang lengang dan kesiur angin akan segera lenyap dalam kamar dan secangkir kopi hangat. Dan aku mendadak mau menangis dengan permainan hidup begini rupa pada generasi muda. Banyak dari yang kukenal, saat usia naik meninggi terlupa bahwa mereka pernah muda dan orang-orang patah hati begini sering ditinggalkan sendiri untuk disumpahi sebagai remaja idiot yang pendek akal bunuh diri....

Tapi aku tak akan lupa semalam itu: Di langit... di langit ujung desa di kaki bukit, bulan sepucat perak warnanya. Warna keterasingan dan kesedihan saat purnama baru berlalu...